SEJARAH KAMPUNG LEWOHALA
Masyarakat
adat Lewohala pada mulanya berasal dari kepulauan Maluku (Serang Gorang
Abo Muar). Pada tahun 1000 masehi, Nenek Moyang kami berangkat
meniggalkan tempat asalnya mencari tempat baru untuk didiami. Adapun
alasan perpindahan sebagai berikut:
1. Sengketa antara kakak beradik ( puke kawi lusi lei, geni kawa magarai)
2. Perang antar kampung yang tidak berkesudahan
3. Terdesak oleh pendatang-pendatang baru
Dengan
demikian nenek moyang kami mulai membuat perahu ( tula tena tani laya)
dan menyiapkan segala keperluan untuk berlayar mencari tempat hunian
baru. Mereka kemudian berlayar ke arah barat Nusantara (seba nuho gena
katan).
Setelah beberapa lama dalam pelayaran, tibalah mereka di suatu tempat yang dikenal dengan nama pulau Lepan Batan –Keroko Puken (uli taga sao songe-kebo tena lulu laya).
Cukup lama mereka tinggal disana dan akrab dengan penduduk-penduduk disekitar yakni: Kedang Kalikur.
Pada
suatu hari masyarakat Serang Gorang membuat pesta dan mengundang orang
Kedang untuk menghadiri pesta mereka. Tuan pesta membunuh ternak berupa
kambing dan babi untuk menjamu para tamu. Anehnya masyarakat Kedang
tidak berselera dengan lauk pauk yang dihidangkan. Para tamu hanya mau
makan jika disajikan daging belut (tuna), karena daging belut tidak
tersedia, pesta akhirnya ditunda. Para pelaya diperintahkan untuk
mencari belut di laut ( perepa/hutan bakau). Belut yang dicari di dalam
hutan bakau tak juga ditemukan. Sementara dalam pencarian, tiba-tiba
para pelayan bertemu dengan seorang pencari ikan, kepada pencari ikan
para nelayan bertanya; adakah ia ( pencari ikan) pernah melihat tuna?
Jawab pencari ikan” saya hanya pernah mendengar ceritra bahwa disini ada
tuna piaraan dalam lubang bakau, milik seorang tuan tanah”. Mendengar
itu para nelayan langsung menuju ketempat dimana tuna dipelihara dan
memasang api di depan lubang. Sambil menunggu keluarnya tuna, mereka
bernyanyi (sole) sebagai berikut: “ lodo hau tuna bera lodo hau, tobo
miang pae wenge tuna bera lodo hau”.
Karena
kepanasan akhirnya tuna tersebut keluar, dengan gembira para pelayan
mengambil dan membawanya pulang untuk disajikan sebagai hidangan
perjamuan dengan para tamu dari Kedang.
Sepanjang
malam acara pesta digelar, sole-oha memecah kesunyian malam. Kira-kira
pukul 03.00 pagi, awan mendung menutup langit, guruh gemuruh Guntur
disertai petir menggelegar seakan membelah bumi, bersamaan dengan
datangnya hujan nan lebat, banjir bandang segera melanda kampung,
keramaian pesta berubah seketika, masyarakat menjadi ketakutan. Pembesar
kampung membunyikan nafiri pertanda bahaya segera menimpa. Tak berapa
selang, terasa gempa mengguncang bumi, bersamaan dengan laut pasang,
bencana hebat melanda kampung lepan batan-keroko puken (blebu lebu,
blera lerang), ditengah ketakutan, pembesar kampung mengumumkan agar
masyarakat segera menyelamatkan diri.
Masing-masing
mereka lalu menyelamatkan diri menggunakan perahu. Ada yang kemudian
berlayar ke arah utara, selatan, timur dan barat. Yang berlayar
menyusuri pantai utara lalu tiba di Kedang (meru wetan tuka-para
wailolon), sedangkan yang berlayar menyusuri pantai selatan kemudian
melabuhkan perahunya di nila wuyo kape, lama lera dan lewo bala,
sebagian lagi terus berlayar dan tiba di pulau adonara dan pulau solor
(wulo sodong-arang bao). Wulo sodong, tanah boleng, arang bao,
waiwuring- sagu arang.
Nenek
moyang cukup lama mendiami kedang dibawah pimpinan ola baga tugu wulan
dan pati useng kei lera sedangkan yang di adonara dibawah pimpinan pati
arakiang dan kayo wua boli ama.
Tidak
lama nenek moyang tinggal di waiwuring dan sagu arang, karena semacam
penyakit aneh menimpah yakni: penyakit ketili witi dan udung lawaj.
Mereka akhirnya mengambil keputusan untuk mencari tempat baru. Mereka
berlayar menuju ile anakoda, dan sempat menurunkan sebagian di lewokea
(lewotolok-sekarang) dan sebagian berlayar terus ke arah utara timur.
Dan tibalah mereka di bui baran dan melabuhkan perahunya.
Disamping
tanjung lakadoni bapak hali sabo ama sempat menggal sebuah sumur di
depan jong bute balu bihang, mereka kemudian memutuskan untuk menetap.
Setelah sebulan mereka tinggal, terjadila perundingan diantara mereka
untuk membagi tugas dan tempat tinggal.
Pembagian itu yakni:
1. Kaka lewo bolo
2. Arin lewo lere
Kaka
lewo bolo tinggal di lereng gunung ile ape dengan tugas: tanam kelapa,
pisang, pinang dan siri. Sedangkan arin lewo lere tingggal diantara
pantai dan gunung yakni: kewatu moting dan sekaligus bertugas mencari
ikan (nelayan), masak garam, bakar kapur untuk dibarter antara mereka.
Kakan
lewo bolo kemudian menetap disebuah tempat bernama mita rota guma gole.
Ditempat tersebut sudah ada penghuninya yakni tede tawa tanah, disana
mereka hidup bersama. Kedatangan mereka atas undangan tede tawa tanah
untuk membantu melawan musuhnya yang bernama sadu rupa lima letu dan
ekan watan lolon.
Setelah
saling mengenal mereka kemudian berunding untuk membangun kekuatan
bersama menyerang musuh sadu rupa lima letu dan ekan watan lolon. Perang
cukup banyak memakan korban, baik korban jiwa maupun harta beda. Namun
demikian musuh besar belum berhasil ditumpas. Karena terus saja
mengalami kekalahan mereka kemudian meminta bantuan dari saudara-saudara
mereka yang tinggal di kedang tepatnya yang tinggal di meru watan tuka
para wailolon dibawah pimpinan ola baga tugu wulan dan pati usen kei
lera.
Beberapa delegasi
diutus untuk menemui ola baga tugu wulan dan pati usen kei lera. Ola
baga tugu wulan dan pati usen kei lera, kemudian menyetujui permintaan
dan akhirya berangkat bersama. Dalam perjalanan pulang mereka sempat
melabuhkan perahunya di wai bao hadakewa. Dari situ mereka berlayar lagi
menuju okang paga wewa matan. Adapun barang yang dibawah oleh ola baga
tugu wulan dan pati usen kei lera adalah:
1. Wuhu pito labi lema (senjata kuno)
2. Sedo wu nake lolong (ritual pesta kacang)
3. Api lera ku keneheng (alat pembuat api dari bambu)
Di
okang paga wewan matan telah mereka berjumpa dengan para pembesar kakan
lewo bolo dan arin lewo lere, juga pembesar tana tawa, perjumpaan
diwarnai isak tangis.
Mereka
kemudian berunding untuk membangun strategi perang melawan musuh.
Perang demi perang dilalui namun musuh belum juga berhasil ditumpas.
Oleh
karena sering mengalami kekalahan, mereka kemudian mengutus delegasi
menemui sadu rupa lima letu untuk berunding. Strategi ini boleh dibilang
berhasil, putri kesayangan sadu rupa lima letu somi solang gewo (kewa
kala nidi) dinikahkan dengan a’wote abo ama (soge laka rowe) dari suku
serang gorang.
Perkawinan
dimaksud untuk mencari tahu rahasia perang dan kekuatan sadu rupa lima
letu serta benteng pertahanan sadu rupa lima letu. Somi salang gowa
akhirnya membeberkan seluruh rahasia kekuatan ayahnya sadu rupa lima
letu kepada suaminya a’ wote abo ama (soge laka rowe).
Berbekal ceritra dari somi solang gewo, nenek moyang kemudian mulai berundig dan membangun strategi baru.
Diceritrakan
bahwa: sadu rupa lima letu dan ekan watan lolon bertempat tinggal di
atas pohon (lewwa). Salah satu kebiasaan sadu rupa lima letu adalah
membuang air kencing melalui saluran yang terbuat dari sebatang bambu
bulu.
Suatu malam di
kediaman sadu rupa lima letu sedang berlangsung pesta pernikahan yang
meriah, saat yang ditunggu-tunggu pun tiba. Panglima a’ wote abo ama
(soge laka rowe) bergerak menuju kediaman sadu rupa lima letu dan
menunggu persis didekat saluran bambu. Tak lama berselang, terdengar
derap langkah sadu rupa lima letu.
A’
wote abo ama dengan segera memasukan panahnya kedalam lubang saluran,
setelah terlihat air seni menetes panah pun dilepas. Sadu rupa ima letu
tewas seketika dan jatuh dari atas pohon lewwa. A’ wote abo ama lalu
memotong kaki dan tangan sadu rupa lima letu dan kemudian dibawanya
menuju namang (tempat hiburan) dimana seluruh masyarakat sadu rupa lima
letu sedang berpesta. Ia lalu membuangkaki dan tangan sadu rupa lima
letu ketengah kerumunan. Melihat itu masyarakat menjadi panik, ditengah
kepanikan seorang tukang sole masih sempat lagukan solenya yang
berbunyi: “ sedan aku digelema, pelali lei ge sadu rupa lima letu lei
hae. Tutu padu solang dama dai hotoro uhe “ obor kemudian dinyalakan
untuk memastika kaki dan tangan siapa yang dibuang itu. Masyarakat
terkejut dan semakin panik ketika mengetahui bahwa kaki dan tangan
tersebt milik panglima besar mereka sadu rupa lima letu. Karena
ketakutan mereka kemudian melarikan diri untuk bersembunyi. Ketika pagi
menjelang, ekan watan lolon membunyikan nafiri untuk memanggil
masyarakatnya berkumpul dan menguburkan mayat panglima besar mereka.
Suasana
haru menyelimuti masyarakat sadu rupa lima letu. Kesedihan itu semakin
menjadi ketika kemudian diketahui bahwa orang yang menbunuh sadu rupa
lima letu adalah suami dari somi solang gewo- a’ wote abo ama. Akibat
kejadian ini perang sempa terhenti untuk beberapa saat.
Namun
setelah itu, ekan watan lolon membangun lagi kekuatan untuk melancarkan
serangan kepada suku serang gorang dan tanah tawa. Lagi-lagi korban
berjatuhan terlebih pada suku serang gorang dan suku tanah tawa.
Dituturkan pula bahwa, perang saat itu menyebar sampai ke lewotolok.
Ekan watan lolon dan pasukannya selalu menang dalam pertempuran itu.
Oleh karena kemenangan dalam peperangan, ekan watan lolon kemudian
melagukan sebuah sole sebagai berikut: “ jadi hala, hala lawa jadi hala,
tolok ile ale gole, lawa jadi hala”. Sole sindiran ini menyebabkan
kemarahan besar pihak serang gorang dan tanah tawa. Strategi perang baru
pun mulai disusun. Para prajurit serang gorang pun diperintahkan
panglimanya untuk menggali lubang jebakan dan memasang ranjau pada
tempat yang biasa dilalui ekan watan lolon musuh besar mereka.
Strategi
ini berhasil menangkap ekan watan lolon. Tubuh ekan watan lolon
kemudian ditarik ke kampung serang gorang oleh panglima hala tede dan
prajuritnya. Rakyat serang gorang yang selama ini memendam kemarahan
berbondong-bondong datang menyaksikan musuh besar mereka yang berhasil
ditangkap. Tak ketinggalan kaum ibu, yangdatang dengan membawa pisau dan
mengiris sedikit demi sedikit tubuh ekan watan lolon. Luka yang
mengangah kemudian disirami garam bercampur Lombok dan cuka. Tidak puas
dengan perlakuan itu, ekan watan lolon kemudian diseret ke lewotolok
untuk didera. Dalam perjalanan pulang ekan watan lolon meratapi nasibnya
sebagai berikut: “ kaka sadu take kae, nong go ekan watan lolon gali
hae, pana-pana kai mataj lali kepa bunu tali, gawi-gawi kai lola weli
wulo dopi lara. Tanah sira paji ike ekan laga doni pama buto bote nai
doan kuma doro nai lela”. Pada akhirnya ekan watan lolon meninggal dan
dimakamkan disebuah tempat yang bernama “kepa tawa”
Meninggalnya
dua panglima perang ini membuat rakyat watowita dan kumata bagaikan
anak ayam yang kehilangan induknya. Dibawah pimpinan anak kandung sadu
rupa lima letu yang bernama leba letu, mereka kemudian pergi mencari
tempat hunian baru.
Sumber :http://mediamisteri.blogspot.com
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Anda Sopan Kami Segan